International Education Curriculum
(Correlation with KTSP Curriculum in Indonesia )
Added & Edited By:
Arip Nurahman
(Universitas Pendidikan Indonesia [www.banjarcyberschool.co.cc])
Wael Alghamdi
(Dar Al Fikr School Saudi Arabia [www_333_www@hotmail.com])
Arif Kara
(ICT Consultant Turkey [BadBoyArif@gmail.com])
Christian Daniels
(Proviso East High School, Chicago Illinois, USA. Now at Stanford Univ. Bio mechanical Engineering [cdaniels@Stanford.edu])
Supervisor:
Dr. Ina Yusuf, M.A.
(Senior Lecture in Curriculum,UPI)
What is hope.................
What hope means
Hope is bright shining light which keeps darkness at the bay
Hope is gentle cold breeze on a hot summer day
Hope is to remain positive when going gets tough
hope is seeking more when others think u had enough
What hope means
Hope is dreaming of tommorow
Hope is simmering under sorrow
Hope is sparkles when tears in our eyes
Hope is a beautiful thing & beutiful things never dies
What hope means
Hope is as light as a feather
Hope keeps all of us together
Hope is ubiquitous and free of cost
hope is the last thing ever lost.....
by: Vineet Bansal
Abstract
In formal education, a curriculum (plural curricula) is the set of courses, and their content, offered at a school or university. As an idea, curriculum stems from the Latin word for race course, referring to the course of deeds and experiences through which children grow and mature in becoming adults. (Wikipedia)
Introduction
In formal education or schooling, a curriculum is the set of courses, course work, and content offered at a school or university. A curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative body (i.e. the National Curriculum for England in English schools). In the U.S., each state, with the individual school districts, establishes the curricula taught. Each state, however, builds its curriculum with great participation of national academic subject groups selected by the United States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for mathematical instruction. In Australia each state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International Bureau of Education has the primary mission of studying curricula and their implementation worldwide.
Curriculum means two things:
(i) the range of courses from which students choose what subject matters to study, and
(ii) a specific learning program. In the latter case, the curriculum collectively describes the teaching, learning, and assessment materials available for a given course of study.
Currently, a spiral curriculum
(or tycoil curriculum) is promoted as allowing students to revisit a subject matter's content at the different levels of development of the subject matter being studied. The constructivist approach, of the tycoil curriculum, proposes that children learn best via active engagement with the educational environment, i.e. discovery learning.
A crucial aspect for learning, understanding by stimulating the imagination, is absent in the so-called "neo-conservative curriculum" that stresses the ineffective aspects of knowledge amounts and of logico-mathematical thinking, i.e. rote learning.
Crucial to the curriculum is the definition of the course objectives that usually are expressed as learning outcomes' and normally include the program's assessment strategy. These outcomes and assessments are grouped as units (or modules), and, therefore, the curriculum comprises a collection of such units, each, in turn, comprising a specialized, specific part of the curriculum. So, a typical curriculum includes communications, numeracy, information technology, and social skills units, with specific, specialized teaching of each.(Wikipedia)
Contents
Pada tahun 2006 telah diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor: 22 tentang Standar Isi (SI), Nomor: 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan Nomor: 24 tentang Pelaksanaan SI dan SKL untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Mengacu pada SI dan SKL ini, sekolah-sekolah yang mampu (memiliki sumber daya pendidikan memadai), diharapkan pada tahun pelajaran 2006/2007 telah mengembangkan dan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk sekolahnya masing-masing. Sedangkan bagi sekolah yang kurang mampu, diharapkan paling lambat pada tahun 2009/2010 telah mengembangkan KTSP untuk sekolahnya. Gubernur dapat mengatur pelaksanaan KTSP di wilayahnya untuk satuan pendidikan SMA, SMK, dan pendidikan khusus; sedangkan Walikota/Bupati dapat mengatur pelaksanaan KTSP di daerahnya untuk satuan pendidikan SD dan SMP. Dalam pelaksanaannya, belum semua sekolah mampu mengembangkan KTSP; bahkan banyak kalangan meragukan keberhasilan pengembangan KTSP.
Pengembangan Kurikulum
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dengan KTSP, bangsa Indonesia telah memasuki babak baru dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang mengembangkan adalah Pemerintah, dalam hal ini Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (dulu Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Depdikbud) bekerja sama dengan unit-unit terkait, sedangkan guru tinggal mengimplementasikannya. Hal ini relevan dengan pengelolaan pemerintahan pada waktu itu, yakni sentralistik.Memasuki era reformasi, pengelolaan pemerintahan telah berubah menjadi desentralisasi, berupa otonomi daerah dan otonomi sekolah; sehingga, pengembangan kurikulum oleh Pemerintah tidak relevan lagi. Selain itu, pengembangan kurikulum oleh Pemerintah memiliki kelemahan, karena kemampuan peserta didik seolah-olah disamaratakan dari Sabang sampai Merauke. Padahal kenyataannya kemampuan peserta didik antara daerah satu dengan daerah lainnya, antara sekolah satu dengan sekolah lainnya, berbeda satu sama lain; dan yang paling memahami kemampuan peserta didik adalah para guru yan bersangkutan. Oleh karena itu, yang paling ideal mengembangkan KTSP adalah para guru yang bersangkutan.
Namun demikian, banyak kalangan yang pesimis terhadap keberhasilan pengembangan KTSP ini, terutama justru kalangan dari lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK). Alasan yang dikemukakan antara lain karena guru ketika masih menempuh pendidikan di LPTK (IKIP atau FKIP) belum diberi bekal tentang bagaimana mengembangkan kurikulum. Bekal yang diberikan adalah bagaimana mengimplementasikan kurikulum yang sudah ada, yang disusun oleh Pemerintah.
Berkenaan dengan hal itu, maka dalam Permendiknas Nomor 24 tentang Pelaksanaan SI dan SKL dijelaskan bahwa guru dapat mengembangkan sendiri KTSP mengacu pada SI dan SKL; dapat pula (dalam masa transisi) mengadaptasi, bahkan mengadopsi model-model kurikulum yang disusun oleh Pusat Kurikulum.
Pelaksanaannya, pada tahun pertama, boleh saja guru/sekolah mengadopsi; tetapi pada tahun ke dua diharapkan mampu mengadaptasi; dan selanjutnya, pada tahun ke tiga bersama komite sekolah (diharapkan terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat setempat) sudah mengembangkan sendiri KTSP sesuai dengan: (1) visi, misi, dan tujuan sekolah, (2) potensi/karakteristik daerah, (3) sosial budaya masyarakat setempat, serta (4) kemampuan awal dan karakteristik peserta didik.
Pendampingan Pengembangan KTSP
Agar setiap sekolah mampu mengem-bangkan KTSP, dan dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran Mendiknas Nomor 33/SE/MPN/2007 tentang perlunya pembentukan tim sosialisasi KTSP di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pada tahun 2007 Pusat Kurikulum telah memprakarsai pembentukan Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di 33 provinsi dan 66 kabupaten/kota, serta memberikan bantuan profesional kepada para widyaiswara dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) serta Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 2008, pemben-tukan TPK semula direncanakan akan Wawasandilanjutkan di 441 kabupaten/kota, tetapi karena adanya pengurangan anggaran akhirnya hanya akan dilakukan pada 293 kabupaten/kota. Selain itu, pada tahun 2008 juga dilakukan pendampingan pengembangan KTSP di 192 kabupaten/kota. Pelaksana pendampingan adalah TPK kabupaten/kota dengan nara sumber dari Pusat Kurikulum. Pada tahun 2008, pelaksanaan pendampingan di masing-masing kabupaten/kota melibatkan 50 orang TPK kabupaten/kota sebagai fasilitator pendampingan, 100 orang guru dan kepala SD, SMP, SMA, SMK, PLB, dan PAUD sebagai peserta, serta 3 orang Pusat Kurikulum sebagai nara sumber.
Hasil yang diharapkan, TPK provinsi dapat melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pelaksanaan tugas TPK kabupaten/kota serta melakukan pendampingan pengembangan kurikulum di beberapa sekolah terpilih; TPK kabupaten/kota mampu melakukan pendampingan pengembangan kurikulum ke semua sekolah di daerahnya; sedangkan LPMP dan P4TK mampu melakukan pendampingan pengembangan kurikulum melalui kelompok kerja pengawas sekolah (KKPS), kelompok kerja guru (KKG), musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), kelompok kerja kepala sekolah (KKKS), gugus sekolah (GS), maupun ke beberapa sekolah terpilih. Secara diagramatis, strategi pelaksanaan bantuan profesional (bimbingan teknis dan pendampingan).
Dengan berbagai upaya tersebut, dan didukung pendanaan yang memadai, baik oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat luas, mudah-mudahan berbagai kalangan yang semula pesimis terhadap keberhasilan pengembangan KTSP akan berubah menjadi optimis dan ikut mendukungnya, bahkan ber-empati terhadapnya, Amin!
Closing
The strategic objective is to contribute to the development of the capacities of specialists, practitioners and decision-makers in the design, management and implementation of the quality of curriculum-making processes and inclusive curricula.
The IBE or Pusat LITBANG Kurikulum works in partnership with national education authorities, international organizations, non-governmental organizations and academic institutions, and offers technical assistance, training, policy advice and a wide range of resources, tools and materials.
Conclusion
The Purpose of Curriculum Development is for support UNESCO's Slogan: Learning to Live Together.
We hope that our Nation (Indonesia) can Change to Positive Way specially in Education by the development of KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
The term “learning to live together”, central to UNESCO’s mission. The concept of learning to live together is centered on the development of understanding, consideration and respect for others, their beliefs, values and cultures. This is considered to provide the basis for the avoidance of conflicts or their non-violent resolution and for ongoing peaceful coexistence. Beyond that, it implies recognizing difference and diversity as opportunity rather than danger and as a valuable resource to be used for the common good.
A good number of countries are also looking for new ways to encourage learning to live together, including human rights and citizenship education, education for peace, fighting against marginalization and all kinds of discrimination.
References
1. ^ Jackson, Philip W. "Conceptions of Curriculum and Curriculum Specialists." In Handbook of Research on Curriculum: A Project of the American Educational Research Association, edited by Philip W. Jackson, 3-40. New York: Macmillan Pub. Co., 1992.
2. ^ Pinar, William F., William M. Reynolds, Patrick Slattery, and Peter M. Taubman. Understanding Curriculum: An Introduction to the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses. New York: Peter Lang, 1995.
3. ^ Bobbitt, John Franklin. The Curriculum. Boston: Houghton Mifflin, 1918.
4. ^ National Education Standards...They're Back! (article)
5. ^ Diane Ravitch, National Standards in American Education A Citizen's Guide (book)
6. ^ Kelly, A.V. (1989) The Curriculum: theory and practice 3rd Ed
7. ^ Norman, R. (2000) Cultivating Imagination in Adult Education Proceedings of the 41st Annual Adult Education Research.
8. ^ Egan, K. (1992). Imagination in Teaching and Learning. Chicago: University of Chicago Press.
Acknowledgment:
1. Our Parents & Teachers in SMAN 1 Banjar (Kota Banjar)
2. All my Friends
3. Ibu. Dra. Roswati Mudjiarto, M.Pd (UPI)
4. Kak Arvino Mudjiarto (President Works Code Indonesia)
5. Bpk. Herry Widyastono (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas R.I.)
6. Bpk. Onni Jamhari, Ph.D. (Stanford Univ. & International Students Service)
7. Bpk. Dadi Darmadi Ph.D. (Post Graduated Harvard University at Anthropology Department)
8. Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia
Organization:
1.International Bureau of Education
2. Himpunan Alumni SBI SMAN 1 Banjar, Kota banjar
3. The Sundanese Cyber School Alliance
4. MIT-Harvard Open Course Ware
5. Tim Olimpiade Kota Banjar
Link:
1.http://www.puskur.net/
2.http://banjarcyberschool.co.cc
3.http://www.ibe.unesco.org/en.html
4.http://smansabanrsbi.blogspot.com/
Sorry If There's Something Mistake
"Salam Pendidikan Untuk Peradaban"
(Correlation with KTSP Curriculum in Indonesia )
Added & Edited By:
Arip Nurahman
(Universitas Pendidikan Indonesia [www.banjarcyberschool.co.cc])
Wael Alghamdi
(Dar Al Fikr School Saudi Arabia [www_333_www@hotmail.com])
Arif Kara
(ICT Consultant Turkey [BadBoyArif@gmail.com])
Christian Daniels
(Proviso East High School, Chicago Illinois, USA. Now at Stanford Univ. Bio mechanical Engineering [cdaniels@Stanford.edu])
Supervisor:
Dr. Ina Yusuf, M.A.
(Senior Lecture in Curriculum,UPI)
What is hope.................
What hope means
Hope is bright shining light which keeps darkness at the bay
Hope is gentle cold breeze on a hot summer day
Hope is to remain positive when going gets tough
hope is seeking more when others think u had enough
What hope means
Hope is dreaming of tommorow
Hope is simmering under sorrow
Hope is sparkles when tears in our eyes
Hope is a beautiful thing & beutiful things never dies
What hope means
Hope is as light as a feather
Hope keeps all of us together
Hope is ubiquitous and free of cost
hope is the last thing ever lost.....
by: Vineet Bansal
Abstract
In formal education, a curriculum (plural curricula) is the set of courses, and their content, offered at a school or university. As an idea, curriculum stems from the Latin word for race course, referring to the course of deeds and experiences through which children grow and mature in becoming adults. (Wikipedia)
Introduction
In formal education or schooling, a curriculum is the set of courses, course work, and content offered at a school or university. A curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative body (i.e. the National Curriculum for England in English schools). In the U.S., each state, with the individual school districts, establishes the curricula taught. Each state, however, builds its curriculum with great participation of national academic subject groups selected by the United States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for mathematical instruction. In Australia each state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International Bureau of Education has the primary mission of studying curricula and their implementation worldwide.
Curriculum means two things:
(i) the range of courses from which students choose what subject matters to study, and
(ii) a specific learning program. In the latter case, the curriculum collectively describes the teaching, learning, and assessment materials available for a given course of study.
Currently, a spiral curriculum
(or tycoil curriculum) is promoted as allowing students to revisit a subject matter's content at the different levels of development of the subject matter being studied. The constructivist approach, of the tycoil curriculum, proposes that children learn best via active engagement with the educational environment, i.e. discovery learning.
A crucial aspect for learning, understanding by stimulating the imagination, is absent in the so-called "neo-conservative curriculum" that stresses the ineffective aspects of knowledge amounts and of logico-mathematical thinking, i.e. rote learning.
Crucial to the curriculum is the definition of the course objectives that usually are expressed as learning outcomes' and normally include the program's assessment strategy. These outcomes and assessments are grouped as units (or modules), and, therefore, the curriculum comprises a collection of such units, each, in turn, comprising a specialized, specific part of the curriculum. So, a typical curriculum includes communications, numeracy, information technology, and social skills units, with specific, specialized teaching of each.(Wikipedia)
Contents
Pada tahun 2006 telah diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor: 22 tentang Standar Isi (SI), Nomor: 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan Nomor: 24 tentang Pelaksanaan SI dan SKL untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Mengacu pada SI dan SKL ini, sekolah-sekolah yang mampu (memiliki sumber daya pendidikan memadai), diharapkan pada tahun pelajaran 2006/2007 telah mengembangkan dan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk sekolahnya masing-masing. Sedangkan bagi sekolah yang kurang mampu, diharapkan paling lambat pada tahun 2009/2010 telah mengembangkan KTSP untuk sekolahnya. Gubernur dapat mengatur pelaksanaan KTSP di wilayahnya untuk satuan pendidikan SMA, SMK, dan pendidikan khusus; sedangkan Walikota/Bupati dapat mengatur pelaksanaan KTSP di daerahnya untuk satuan pendidikan SD dan SMP. Dalam pelaksanaannya, belum semua sekolah mampu mengembangkan KTSP; bahkan banyak kalangan meragukan keberhasilan pengembangan KTSP.
Pengembangan Kurikulum
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dengan KTSP, bangsa Indonesia telah memasuki babak baru dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang mengembangkan adalah Pemerintah, dalam hal ini Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (dulu Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Depdikbud) bekerja sama dengan unit-unit terkait, sedangkan guru tinggal mengimplementasikannya. Hal ini relevan dengan pengelolaan pemerintahan pada waktu itu, yakni sentralistik.Memasuki era reformasi, pengelolaan pemerintahan telah berubah menjadi desentralisasi, berupa otonomi daerah dan otonomi sekolah; sehingga, pengembangan kurikulum oleh Pemerintah tidak relevan lagi. Selain itu, pengembangan kurikulum oleh Pemerintah memiliki kelemahan, karena kemampuan peserta didik seolah-olah disamaratakan dari Sabang sampai Merauke. Padahal kenyataannya kemampuan peserta didik antara daerah satu dengan daerah lainnya, antara sekolah satu dengan sekolah lainnya, berbeda satu sama lain; dan yang paling memahami kemampuan peserta didik adalah para guru yan bersangkutan. Oleh karena itu, yang paling ideal mengembangkan KTSP adalah para guru yang bersangkutan.
Namun demikian, banyak kalangan yang pesimis terhadap keberhasilan pengembangan KTSP ini, terutama justru kalangan dari lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK). Alasan yang dikemukakan antara lain karena guru ketika masih menempuh pendidikan di LPTK (IKIP atau FKIP) belum diberi bekal tentang bagaimana mengembangkan kurikulum. Bekal yang diberikan adalah bagaimana mengimplementasikan kurikulum yang sudah ada, yang disusun oleh Pemerintah.
Berkenaan dengan hal itu, maka dalam Permendiknas Nomor 24 tentang Pelaksanaan SI dan SKL dijelaskan bahwa guru dapat mengembangkan sendiri KTSP mengacu pada SI dan SKL; dapat pula (dalam masa transisi) mengadaptasi, bahkan mengadopsi model-model kurikulum yang disusun oleh Pusat Kurikulum.
Pelaksanaannya, pada tahun pertama, boleh saja guru/sekolah mengadopsi; tetapi pada tahun ke dua diharapkan mampu mengadaptasi; dan selanjutnya, pada tahun ke tiga bersama komite sekolah (diharapkan terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat setempat) sudah mengembangkan sendiri KTSP sesuai dengan: (1) visi, misi, dan tujuan sekolah, (2) potensi/karakteristik daerah, (3) sosial budaya masyarakat setempat, serta (4) kemampuan awal dan karakteristik peserta didik.
Pendampingan Pengembangan KTSP
Agar setiap sekolah mampu mengem-bangkan KTSP, dan dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran Mendiknas Nomor 33/SE/MPN/2007 tentang perlunya pembentukan tim sosialisasi KTSP di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pada tahun 2007 Pusat Kurikulum telah memprakarsai pembentukan Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di 33 provinsi dan 66 kabupaten/kota, serta memberikan bantuan profesional kepada para widyaiswara dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) serta Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 2008, pemben-tukan TPK semula direncanakan akan Wawasandilanjutkan di 441 kabupaten/kota, tetapi karena adanya pengurangan anggaran akhirnya hanya akan dilakukan pada 293 kabupaten/kota. Selain itu, pada tahun 2008 juga dilakukan pendampingan pengembangan KTSP di 192 kabupaten/kota. Pelaksana pendampingan adalah TPK kabupaten/kota dengan nara sumber dari Pusat Kurikulum. Pada tahun 2008, pelaksanaan pendampingan di masing-masing kabupaten/kota melibatkan 50 orang TPK kabupaten/kota sebagai fasilitator pendampingan, 100 orang guru dan kepala SD, SMP, SMA, SMK, PLB, dan PAUD sebagai peserta, serta 3 orang Pusat Kurikulum sebagai nara sumber.
Hasil yang diharapkan, TPK provinsi dapat melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pelaksanaan tugas TPK kabupaten/kota serta melakukan pendampingan pengembangan kurikulum di beberapa sekolah terpilih; TPK kabupaten/kota mampu melakukan pendampingan pengembangan kurikulum ke semua sekolah di daerahnya; sedangkan LPMP dan P4TK mampu melakukan pendampingan pengembangan kurikulum melalui kelompok kerja pengawas sekolah (KKPS), kelompok kerja guru (KKG), musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), kelompok kerja kepala sekolah (KKKS), gugus sekolah (GS), maupun ke beberapa sekolah terpilih. Secara diagramatis, strategi pelaksanaan bantuan profesional (bimbingan teknis dan pendampingan).
Dengan berbagai upaya tersebut, dan didukung pendanaan yang memadai, baik oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat luas, mudah-mudahan berbagai kalangan yang semula pesimis terhadap keberhasilan pengembangan KTSP akan berubah menjadi optimis dan ikut mendukungnya, bahkan ber-empati terhadapnya, Amin!
Closing
The strategic objective is to contribute to the development of the capacities of specialists, practitioners and decision-makers in the design, management and implementation of the quality of curriculum-making processes and inclusive curricula.
The IBE or Pusat LITBANG Kurikulum works in partnership with national education authorities, international organizations, non-governmental organizations and academic institutions, and offers technical assistance, training, policy advice and a wide range of resources, tools and materials.
Conclusion
The Purpose of Curriculum Development is for support UNESCO's Slogan: Learning to Live Together.
We hope that our Nation (Indonesia) can Change to Positive Way specially in Education by the development of KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
The term “learning to live together”, central to UNESCO’s mission. The concept of learning to live together is centered on the development of understanding, consideration and respect for others, their beliefs, values and cultures. This is considered to provide the basis for the avoidance of conflicts or their non-violent resolution and for ongoing peaceful coexistence. Beyond that, it implies recognizing difference and diversity as opportunity rather than danger and as a valuable resource to be used for the common good.
A good number of countries are also looking for new ways to encourage learning to live together, including human rights and citizenship education, education for peace, fighting against marginalization and all kinds of discrimination.
References
1. ^ Jackson, Philip W. "Conceptions of Curriculum and Curriculum Specialists." In Handbook of Research on Curriculum: A Project of the American Educational Research Association, edited by Philip W. Jackson, 3-40. New York: Macmillan Pub. Co., 1992.
2. ^ Pinar, William F., William M. Reynolds, Patrick Slattery, and Peter M. Taubman. Understanding Curriculum: An Introduction to the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses. New York: Peter Lang, 1995.
3. ^ Bobbitt, John Franklin. The Curriculum. Boston: Houghton Mifflin, 1918.
4. ^ National Education Standards...They're Back! (article)
5. ^ Diane Ravitch, National Standards in American Education A Citizen's Guide (book)
6. ^ Kelly, A.V. (1989) The Curriculum: theory and practice 3rd Ed
7. ^ Norman, R. (2000) Cultivating Imagination in Adult Education Proceedings of the 41st Annual Adult Education Research.
8. ^ Egan, K. (1992). Imagination in Teaching and Learning. Chicago: University of Chicago Press.
Acknowledgment:
1. Our Parents & Teachers in SMAN 1 Banjar (Kota Banjar)
2. All my Friends
3. Ibu. Dra. Roswati Mudjiarto, M.Pd (UPI)
4. Kak Arvino Mudjiarto (President Works Code Indonesia)
5. Bpk. Herry Widyastono (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas R.I.)
6. Bpk. Onni Jamhari, Ph.D. (Stanford Univ. & International Students Service)
7. Bpk. Dadi Darmadi Ph.D. (Post Graduated Harvard University at Anthropology Department)
8. Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia
Organization:
1.International Bureau of Education
2. Himpunan Alumni SBI SMAN 1 Banjar, Kota banjar
3. The Sundanese Cyber School Alliance
4. MIT-Harvard Open Course Ware
5. Tim Olimpiade Kota Banjar
Link:
1.http://www.puskur.net/
2.http://banjarcyberschool.co.cc
3.http://www.ibe.unesco.org/en.html
4.http://smansabanrsbi.blogspot.com/
Sorry If There's Something Mistake
"Salam Pendidikan Untuk Peradaban"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar